Penulis : Faranisa Haqi Rohmah
Anna berharap mendung tidak datang ketika dia membuka pintu rumahnya. Di depan rumahnya seorang laki laki tersenyum melihat kearah datangnya langkah kaki Anna.
“Ma, Anna berangkat dulu ya!” Seru Anna sembari mencium tangan Mamanya.
“Iya, hati – hati dijalan, kalau Mas Rio ngebut diingetin lho ya” Anna menjawab dengan senyuman dan melangkah menjauh menuju laki – laki yang sedang menunggunya di atas motor kesayangannya. Rio mulai menyalakan motor bebeknya ketika Anna telah duduk di jok belakangnya.
“Tante, saya pamit dulu, Assalamualaykum.”
“Waalaikummussallam.”
Gadis berusia tujuh belas tahun itu duduk dengan nyaman di atas motor yang melaju diantara kepadatan kota kecil di pagi hari. Dengan celana jeans dan kemeja casual-nya ditambah kerudung yang bertengger di kepalanya menambah kesan manis penampilan sederhananya. Sudut bibirnya terangkat dan ia bertanya dengan suara yang
sedikit keras, “Kamu nggak telat nih harus nganterin aku dulu?” Laki – laki itu menjawab tanpa mengalihkan pandangan mata dari jalanan,
“Nggak apa apa, ini kan hari pertama kamu masuk kampus. Lagian tempat magangku juga searah.”
***
Anna mendapatkan perang batin dalam dirinya untuk bertanya atau terus mencari kelas pertamanya hari ini. Ia bukanlah orang yang senang berada dalam pusat perhatian, sebisa mungkin ia menyembunyikan wajahnya di balik dinding pembatas kasat mata yang ia buat sendiri. Tiba – tiba Anna berhenti dan mulai menyerah ketika ia mencapai ujung gedung yang sedari tadi ia susuri.
Kepalanya ia tundukkan ketika empat orang perempuan yang asyik menertawakan sesuatu berjalan melewatinya menuju toilet wanita. Anna tak bergerak sedikitpun, sangat ragu – ragu untuk bertanya kepada salah satu perempuan itu.
“Maaf, apa kamu punya tissue? Kalau ada, bolehkan saya meminta?” Matanya mengamati seorang perempuan yang menyentuh pundaknya dengan lembut. Tatapan Anna seakan menilai penampilan perempuan dengan rok panjang yang menyentuh lantai dan kerudung lebar tertutup itu. Ia melupakan fakta bahwa perempuan
tadi sedang bertanya kepada Anna.
“Eh, iya ada.” Ana merogoh kedalam tas gendong putihnya mencari sebuah tissue. Perempuan tadi menerima tissue yang Anna berikan dan segera berjalan ke toilet,
“Tunggu disini ya.”
***
Anna mengulurkan tangan dan mengambil tas tangan yang sedang dibawa Zahra, perempuan anggun yang ia temui kala itu di toilet wanita. Sepuluh menit kemudian Anna masih berdiri di tempat yang sama waktu itu ketika Zahra kembali dari toilet wanita. Tanpa mengira sebelumnya kalau mereka adalah teman satu kelas di mata kuliah yang sama.
Hingga mereka sadari kalau mereka mempunyai cukup banyak kesamaan yang membuat mereka semakin dekat. Butuh waktu beberapa saat sebelum Anna menyadari apa yang sedang terjadi di rumahnya ketika ia baru mencapai di ambang pintu kamarnya.
“Kamu pikir aku tidak mengetahuinya, tapi aku tahu. Tentang apa yang selama ini kamu lakukan di luar sana.” Suara Mama Anna bergetar dipenuhi kemarahan.
Anna tidak tahu apa yang sedang terjadi di kamar mama dan papanya, hingga ia melihat papanya membanting pintu dan pergi dari rumah. Zahra melihat Anna menjatuhkan dirinya di kasur dan terisak, lalu ia meraih satu tangan Anna dan menggenggamnya.
Butuh usaha keras bagi Zahra untuk menenangkan Anna, ia usap lembut punggung Anna yang bergerak naik turun seiring dengan senggukan tangisnya.
Anna menarik napas panjang dan duduk lebih tegak. “Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Papa dan Mama, baru kali ini mereka bertengkar cukup hebat dan Papa meninggalkan Mama seperti itu.”
Sejujurnya, Zahra adalah salah satu orang yang paling pengertian. Dengan sabar ia mendengarkan dan menunggu sampai Anna selesai meluapkan semua keluh kesah yang ia rasakan. Ketika Anna sudah berhenti dan sedikit lebih tenang, Zahra mulai membuka mulutnya.
Bagi Anna, Zahra merupakan sosok yang sangat hebat dan menginspirasi. Dengan masa lalu yang cukup kelam Zahra mampu bertahan dan berubah menjadi seseorang yang lebih baik. Ketika Ayah Zahra pergi meninggalkan rumah Zahra hanya punya seorang ibu yang menjadi alasan dia untuk tetap berjuang. Berdoa dan berdoa
Zahra lakukan setiap waktu kepada Allah. Selangkah demi selangkah ia berjalan mendekatkan diri kepada Allah, hidupnya berubah, penampilannya berubah hingga ia menjadi sosok yang kuat.
Ketika Zahra meninggalkan rumah Anna, Anna sudah tertidur pulas. Tenaganya habis, terlalu lelah untuk menangis.
***
Anna sedang bersandar di bawah pohon yang cukup rindang, ia menunggu Zahra selesai kelas terakhir ketika seorang lelaki menghampirinya.
“Akhir – akhir ini aku gak bisa nemuin kamu di rumahmu.” Laki-laki itu duduk agak jauh di sebelah Anna.
“Aku males di rumah, rasanya aku ingin menghindar dari masalah.” Rio, laki – laki yang selama ini selalu ada untuk Anna, tiba – tiba semakin susah Anna untuk menemuinya, bahkan hanya sekedar mengubungi lewat pesanpun tak bisa.
Namun hari itu Rio menemui Anna di kampusnya tanpa memberi tahu Anna terlebih dahulu. Anna mendengar Rio berulang kali menarik napas, ia lalu bertanya, “Ada apa kamu kemari? Kenapa untuk membalas pesanku pun tidak bisa?”
“Maafkan aku Anna, aku akhir – akhir ini sibuk. Kerjaanku di tempat magang banyak. Aku juga baru mempersiapkan sesuatu.”
“Sesuatu apa?”
“Aku mendaftar di pondok pesantren, aku mempersiapkan bekal untuk hidupku.”
Lagi – lagi Anna mendengar tarikan nafas berat laki – laki disampingnya. “Aku kesini mungkin untuk yang terakhir kalinya aku menemuimu seperti ini dan sebelum – sebelumnya. Mungkin aku juga tidak akan menghubungimu, namun bukan berarti tali persaudaraan kita terputus. Aku hanya ingin fokus pada Allah dan menjauhi larangan-
Nya.”
Anna menatap Rio yang sedang menundukkan kepalanya. “Maksud kamu apa? Kamu mau putus denganku?”
“Iya, maafkan aku Anna. Tapi kamu jangan khawatir aku akan tetap menjaga hati dan diriku untukmu suatu saat nanti. Jika kamu memang untukku, aku akan kembali padamu kelak.”
“Aku nggak bisa.” Sahut Anna lirih sambil menggelengkan kepalanya.
“Sekali lagi maafkan aku Anna.” Rio mulai beranjak dari tempat duduknya. “Aku berharap kamu mengerti dengan maksudku. Kalau begitu aku pamit dulu, sampaikan salamku kepada orang tuamu. Assalamualaykum”
Anna tak berkata sepatah kata pun, ia hanya terdiam mencerna semua yang sedang terjadi.
***
“Aku nggak bisa zah.”
“Tapi kamu nggak boleh putus asa seperti ini Ann, maksud Rio kan baik.”
Anna menghela nafas panjang, “Nggak bisa ya tetap nggak bisa. Kita udah sama– sama dari SMA masa dia pergi gitu aja ninggalin aku?”
“Rio punya maksud baik sama kamu, dia pengen berhijrah, dia mau menjaga dirinya untuk kamu suatu saat nanti.”
“Bisa aja kan Rio cuma alasan buat selingkuh.” Dengan geram Anna menjatuhkan dirinya di kasur.
“Astaqfirullah, kok kamu jadi su’udzon sama Rio sih An?” Zahra mengelus dadanya. Ia lalu berbicara dengan hati – hati.
“Kamu harus menerima keputusan Rio, mintalah petunjuk kepada Allah. Kalau aku boleh kasih saran kamu harusnya juga melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Rio. Apalagi juga kamu sudah berapa hari menghindar dan tidak bertegur sapa dengan Mamamu dan bahkan kamu tidak mencari tahu Papamu pergi kemana.”
“Kamu nggak ngerti yang aku rasain zah, meskipun hidup kamu juga buruk sebelumnya bukan berarti kamu ngerti semua yang aku rasain. Aku juga bukan kamu, aku nggak bisa melakukan hal yang sama denganmu.” Anna membalikkan tubuhnya menghadap tembok, enggan menatap Zahra.
“Baiklah kalo begitu, aku juga gak maksa kamu kok Ann. Semoga masalahmu cepat selesai. Aku pulang dulu. Assalamualaykum.” Zahra berkata lirih dan beringsut dari kamar Anna. Anna tak menjawab. Tubuhnya bergerak seiring hembusan nafas panjangnya.
***
Hari ini dan minggu lalu Zahra tak masuk kelas. Anna tak menemukan Zahra dimanapun semenjak kejadian waktu itu di kamarnya. Ia tak tau lagi harus mencari kemana, ia baru sadar bahwa selama ini ia tak pernah berkunjung kerumah Zahra.
Hari – hari Anna masih seperti biasa, masih juga Anna menghindar dari masalahnya. Dengan lemah Anna memasukkan barang – barangnya dan ingin bergegas keluar dari kelas. Namun keinginan hanyalah keinginan, niatnya gagal ketika dosen memanggilnya.
“Azzahra Rianna, tolong kumpulkan absensi ini ke ruang sekretariat.” Anna beranjak dari tempat duduknya dan berjalan kedepan. “Baik Pak!”
Ketika semua orang di kelas berangsur meninggalkan kelas, Anna berjalan sambil melihat – lihat kertas absensi yang berada di genggamannya. Matanya bergerak kebawah dan keatas meneliti apakah ada kesalahan dalam absensi itu.
Dengan rasa ragu – ragu yang menyelimuti pikirannya Anna menepuk teman sekelas sebelumnya yang sedang berjalan di depannya. “Maaf aku mau tanya, kok di absensi gak ada nama Zahra ya?”
Teman Anna mengerutkan dahinya, “Zahra siapa?”
“Itu lo, sahabatku yang setiap di kelas kita duduk di sampingku.”
“Ha? Bukankah dari pertama masuk kelas kamu selalu duduk sendiri?”
Langkah Anna terhenti dan berpikir keras apa maksud dari pernyataan temannya tadi.
***
Ia berdiri di depan kaca, mulai mengenakan kerudung lebar yang sudah lama tersimpan di dalam lemari yang tak pernah ia kenakan. Anna mengamati sosok di depan cerminnya. Matanya, senyumannya, semuanya sungguh tak asing lagi bagi Anna. Ia melihat sosok Zahra di dalam cermin tersebut. Ia mulai sadar dan memantapkan hati
untuk sebuah komitmen yang besar.
Ia mengingat kata – kata Zahra waktu itu, bukan, bukan Zahra namun dirinya sendiri. Ia harus berubah untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan mendekatkan diri kepada Allah. Ia harus memaafkan Papa dan membantu Mama bertahan. Dan juga ia harus menerima semua keputusan Rio. Kini Anna sadar bahwa selama ini Zahra yang dulu ia temui adalah dirinya sendiri saat ini.
***