Hijrahku, Hijrahmu
Penulis : Silfia Etika Safitri
Arinatun Najmi, gadis cantik berusia 22 tahun itu berdiri di depan cermin. Ia mematutkan diri, merapikan jeans, kemeja longgar dan hijabnya untuk segera berangkat ke kampus. Hari ini ia ada kompetisi debat bahasa inggris, dan dia menjadi dalah satu debater di acara itu.
Arin memang mengenakan hijab, namun ia masih belum mengenakan gamis dan jilbab panjang layaknya anak rohis di kampusnya. Entah kenapa. Mahasiswi jurusan kedokteran itu merasa masih nyaman dengan penampilannya saat ini. Ia keluar dari kamar sambil menyambar jas almamater kebanggaanya. Sampai di meja makan, setelah meletakkan tas ia membantu ibunya menyiapkan sarapan. Arin anak semata wayang dari pasangan ibu Ani Sudarwati dan bapak Adi Ahmad. Dari kecil Arin dididik untuk menjadi pribadi yang mandiri dan tidak manja. Dia selalu tanggap akan pekerjaan yang harus dikerjakan dan sekiranya ia mampu melakukannya.
Setelah selesai menyiapkan makan mereka bertiga langsung memulai sarapan mereka. Bapak bertanya,
“Arin, gimana kuliahnya? Lancar kan sejauh ini? Sebentar lagi kamu sudah akan skripsi, sidang akhir, dijaga semangatnya.”
“alhamdulillah pak berkat doa kalian aku bisa dengan lancar menjalani perkuliahannya. Doakan untuk tugas akhir ini pak, bu. Insyaa Allah bulan depan aku sudah bisa mulai menyusun skripsi..”
“alhamdulillah kalau begitu. Doa kita menyertai kamu nak..”sahut sang ibu.
Arin menjawabnya dengan anggukan dan senyuman bahagia. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 07.00,
“buk, pak. Arin pamit berangkat dulu ya? Doakan debat nanti berjalan lancar. Terimakasih atas semua doa kalian, Arin sayang kalian..” Arin berpamitan sambil memeluk kedua orangtuanya bergantian.
“iya nduk, kita juga sayang sekali sama kamu.” Jawab sang ibu membalas pelukan Arin.
“assalamualaikum…” pamit Arin sambil menyunggingkan senyum paling manisnya.
“waalaikumussalam..” jawab bapak dan ibunya.
***
“by seeing my team’s point of view, we straightly go to the red line on how effective of studying in a dawn time on creating fresh mind before going to school or campus. So for the adjudicator time is yours…”
Arin tersenyum manis sambil membungkuk mengakhiri pendapatnya. Tepuk tangan riuh mengiringi akhir penyampaian pendapat Arin. Juri mengangguk angguk sangat kagum dengan cara Arin menyampaikan pendapat dan mengakhiri nya. Arin, Riris dan Nurvita yang merupakan satu tim dalam debat ini berharap agar bisa menang lagi dalam kompetisi kali ini. Dan setelah beberapa saat menunggu, juri mengumumkan bahwa tim Arin lah yang menjadi pemenang debat kali ini.
Arin dan timnya bersorak. Tapi, otak Arin mengajaknya untuk berpikir keras saat memandang juri yang sedang membacakan pengumuman saat itu. “Siapa ya, kaya pernah lihat.” Batinnya.
Setelah menerima trofi dan piala kejuaraan, Arin dan timnya kembali ke belakang panggung. Arin berpesan kepada tim sekaligus sahabatnya, “terima kasih ya teman teman, tanpa kalian tim kita tidak akan meraih kemenangan ini.
Tetap semangat ya. jaga kekompakan kita..”
“iya Arin sayang, tanpa kamu yang ngomando kita, kita juga ga akan berhasil.” Jawab Nurvita sambil cekikikan disusul Riris yang memeluk Arin.
“yaudah aku keluar dulu ya? Ada janji mau ketemu sama dosen pembimbing nih..” pamit Arin kepada kedua sahabatnya.
“iya semangat yaa. Semoga cepat diterima proposal skripsi mu.” Sahut Riris. “makasih..” sambil selalu menyunggingkan senyum termanisnya. Di pintu keluar, Arin disapa oleh seseorang.
“assalamualaikum, Arin?” Sapanya.
“waalaikumussalam, iya. Anda siapa ya, ohh ya saya ingat. Juri yang tadi kan?” jawab Arin
“iya benar, alhamdulillah kamu masih ingat saya.”
“emm ada yang bisa saya bantu pak?”
“pak?? Kita hanya…” jawabnya tertahan. “maaf?” tanya Arin heran.
“oh?! tidak tidak, maaf. Kamu bisa panggil saya mas saja. Perkenalkan saya Musya, Musyafa. ”
“iya saya Arin pak, eh mas maksudnya..” jawab Arin kikuk.
“baiklah, maaf mengganggu waktu mu. Saya harus segera kembali ada pekerjaan yang harus saya selesaikan. Assalamualaikum.” Pamitnya
“waalaikumussalam..” jawab Arin sambil masih heran dengan kelakuan orang tadi. Dia yang memulai menyapanya, namun pamit seolah olah Arin yang mengganggu waktunya. Hah dasar! Aneh! Batinnya. Tapi, Musyafa. Rasanya ia pernah….
***
“And the winner is, Musyafa’s team!! So, for the head of the team, time and place is yours…” Kompetisi English Debate 10 tahun yang lalu dimenangkan oleh tim Musyafa, dan posisi kedua diduduki oleh tim Arin. Arin yang saat itu masih berusia 12 tahun tidak terima atas posisi tim mereka. Arin menentang bahwa tim Musyafa mendebatkan hal diluar topik perdebatan. Namun bagaimanapun keputusan juri bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat.
Arin yang dapat dibilang masih dibawah umur –labil, tetap tidak terima dengan keputusan ini, pulang dengan perasaan dongkol –walaupun sudah berkali kali dihibur orangtua dan timnya. Tanpa sengaja dia bertemu dengan Musyafa dan timnya di pintu keluar, dan Musyafa menyapanya. Arin melengos seolah tidak tau bahwa disitu ada Musyafa, dia terlanjur dongkol setengah mati. Musyafa yang tidak tau apa apa seketika bingung. “Kenapa Arin yang tadinya riang berubah menjadi seperti itu?” batinnya. Tanpa pikir panjang Musyafa segera berlari kembali kedalam gedung…
—
Sampai dirumah Arin melihat handphone nya. Ada 1 pesan masuk dari nomor tidak
dikenal. Selamat siang, benar ini nomor Arin? Selamat siang, iya benar saya Arin. Ini siapa ya? Arin membalas dengan ragu ragu. Tidak lama kemudian handphone Arin berdering, Maaf, ini saya Musyafa. Sebenarnya saya bingung kenapa tadi kamu cuek sekali sama saya. Saya ingin minta maaf jika saya ada salah sama kamu.
“kenapa orang ini? Bikin makin sebel aja!” sungut Arin. Namun nuraninya terketuk atas permintaan maaf Musyafa yang padahal tidak tau apa kesalahannya. Tidak apa apa, saya yang salah. Kamu tidak salah apa apa. Darimana kamu
mendapat nomorku? Obrolan mereka via sms terus berlanjut. Dari situ Arin tau bahwa Musyafa adalah siswa kelas 2 SMA. 4 tahun lebih tua dari Arin. Dan itu berarti Arin baru saja memprotes seniornya! “Ya Tuhan! Kenapa aku ceroboh sekali?” batin Arin.
Ia merasa malu pada dirinya sendiri, terlebih pada Musyafa. Setelah “lumayan” mengetahui tentang Musyafa, tiba-tiba muncul sepercik rasa kagum dari Arin. Hubungan mereka masih berlanjut sampai beberapa bulan berikutnya. Entah itu via sms,maupun media sosial. Sampai pada saat Arin dan Musyafa sama sama sibuk mempersiapkan Ujian Kenaikan Kelas, mereka mulai mengurangi kontak. Hingga saat UKK tiba –bahkan seterusnya, tak ada satupun dari mereka yang mencoba menghubungi satu sama lain kembali.
***
Bulan ini Arin sudah disibukkan dengan kegiatan menyusun makalah skripsinya, ia keluar kamar hanya untuk makan, mandi, dan sholat. Orang tuanya sampai khawatir dengan keadaan Arin, “sudahlah bu, pak. Anggap saja ini tirakat. Doakan supaya kegiatan Arin lancar sampai sidang dan wisuda.” Selalu begitu jawaban Arin saat orang tuanya menanyakan kegiatannya. Malam itu pukul 22.00 saat Arin sedang mengetik bab penutup di makalahnya, tiba tiba
ada pesan masuk di facebooknya.
Musyafa Muhammad : Assalamualaikum, Arin?
Arinatunnajmi : Waalaikumussalam, iya. Siapa ya? Oh, mas Musa yang tadi siang ya?
Musyafa Muhammad : iya benar, maaf apakah saya mengganggu?
Arinatunnajmi : sebenarnya saya sedang menyelesaikan makalah untuk sidang skripsi saya 2 minggu lagi. Apakah ada yang bisa saya bantu?
Musyafa Muhammad : oh, tidak. Jadi kamu sudah akan skripsi sebentar lagi? Alhamdulillah. Semangat ya! Kalau begitu maaf mengganggu, assalamualaikum.
Arinatunnajmi : waalaikumussalam..
Hati Arin menghangat, sesaat setelah itu Arin mencoba membuka profil dari orang tersebut. “kenapa ini? Siapa dia?” batin Arin seraya beranjak untuk mengambil wudlu, ia belum sholat isya’. Dalam doa diakhir sholatnya, ia bermunajat, mengadu pada Allah SWT. Jika Musya didatangkan kembali sebagai ujian baginya, ia berharap agar dikuatkan hatinya menghadapi cobaan ini. Namun jika Musya didatangkan sebagai jodohnya, Arin berharap semoga Musa adalah jodoh terbaik untuknya. Tak terasa ia menitikkan air mata, ia sudah lama tidak merasakan perasaan kagum pada seorang lelaki semenjak itu…
***
Entah kenapa sejak kejadian malam itu, Arin memutuskan untuk mengenakan gamis dan jilbab panjang, entah ke kampus maupun pergi kemana saja. Ibu dan bapaknya heran, namun tak mempermasalahkan perubahan putrinya itu. Toh, Arin terlihat semakin anggun dan cantik dengan penampilan seperti itu.
Pagi itu, hari minggu, tepat 2 hari sebelum sidang skripsinya. Ada tamu datang kerumah Arin. Bapak dan Ibunya sudah duduk bersama tamu tersebut di ruang tamu. Arin belum mengetahui siapa tamu itu sampai saat ia menyuguhkan minuman. Masyaa Allah! Hampir saja ia menumpahkan minuman yang dibawanya. Lelaki itu adalah Musya. Ia bersama orangtuanya –pak Nugroho dan ibu Astuti. Arin seketika menunduk sambil duduk disebelah ibunya.
“jadi begini pak, bu. Maksud saya sekeluarga datang kemari adalah untuk memenuhi keinginan anak kami. Dia minta dilamarkan Arin, untuk menemaninya hingga tua nanti. Begitulah alasan dia saat meminta pada kami..” kata pak Nugroho pada orang tua Arin. Seketika bagaikan ada berliter liter air es yang menyiram hatinya ditengah teriknya
gurun. Panas dingin Arin dibuatnya. “kenapa si Musya ini?” pikir Arin masih tak percaya.
“ada ada saja nak Musya ini. Saya ini tugasnya hanya mengikuti putri saya pak. Jika saya setuju namun putri saya tidak? Baiknya putri saya lah yang menjawab semua ini..” jawab pak Adi sambil terkekeh
“mm..” Arin gugup. “ sebelumnya maaf mas Musya, kita baru saja bertemu beberapa minggu yang lalu. Tanpa kontak intensif, apa yang membuat mas Musya tiba tiba melamar saya?”
“jadi begini,apakah kamu sama sekali tidak ingat sama saya? Saya adalah Musyafa yang pernah kamu protes 10 tahun yang lalu karena memenangkan kompetisi debat. Saat itu kamu masih kelas 2 SMP. Saya kagum pada kepribadian dan semangat kamu waktu itu. Maka dari itu saya memutuskan menghubungi kamu. Kita sudah sempat
menjalin kontak dan cukup akrab waktu itu. Tapi karena saya berpikir saya belum pantas mengajak kamu terlalu jauh, makanya saya putuskan untuk menghindar dari kamu sambil terus memperbaiki diri. Tidak percaya kita malah dipertemukan kembali saat kompetisi beberapa minggu lalu. Saya mencoba mencari informasi tentangmu, dan
mencoba menghubungimu lagi. Alhamdulillah,kamu masih sama seperti dulu dan saya memutuskan untuk melamar kamu menjadi istri saya. Bagaimana Rin?”
Air mata yang sedari tadi ditahan, terus memaksa meloncat keluar. Arin terharu. Ternyata Musya adalah laki laki yang dari dulu ia kagumi, dipertemukan lagi dengannya lewat cara yang tak terduga. Tanpa berpikir panjang, dengan mantap Arin berkata,
“insyaa Allah saya yakin kamu bisa menjadi imam yang baik untuk saya kelak. Terlihat dari usaha kamu selama saat kamu menjauh dari saya. Saya dengar kamu baru saja lulus S2 komunikasi di London ya?”
“alhamdulillah, benar sekali. Sekarang saya sudah bekerja sebagai Dosen Bahasa Inggris di sebuah universitas di Yogyakarta. Insyaa Allah saya siap menjadi imam yang baik untuk kamu, membimbing kamu dan anak-anak kita kelak menjadi lebih baik dan lebih dekat dengan surga Allah SWT. Jadi apakah lamaran saya diterima?”
Arin menoleh kearah bapak dan ibunya, mereka tersenyum dan mengangguk tanda menyetujui,
“iya, saya menerima lamaranmu. Semoga saya tidak salah pilih..” jawabnya sambil tersenyum, sangat manis.
“alhamdulillah” sahut orangtua mereka bersamaan.
“tapi nak Musya, berhubung Arin masih akan skripsi sebentar lagi. Apakah nak Musya sabar menunggu sampai Arin selesai wisuda?” tanya pak Adi yang disambut gelak tawa dua keluarga yang berkumpul pagi itu.
***
“Qabiltu Nikahaha wa Tazwijaha bil Mahril Madzkur Haalan.” Ucap Musya lancar dalam satu tarikan nafas.
“baarakallahu lakuma wa baraka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fii khair.”
Hari itu, tepat 1 minggu setelah wisuda, Arin dan Musya melaksanakan akad nikah. Mereka resmi menjadi suami istri. Mereka sama sama tak menyangka. Selama ini keduanya yang sama-sama sibuk memperbaiki diri untuk kehidupan masing-masing, ternyata membawa kebaikan untuk mereka berdua. Berhasil untuk hidup berdampingan dalam bersama meraih ridho Allah SWT.
“nak Musya, bapak ingin berpesan. Walaupun kalian berdua sama-sama dulunya dalah debater, tapi bapak tidak mau jika kalian nanti selalu berdebat setiap harinya..” kata pak Adi sambil tertawa yang disambut tawa oleh pasangan yang sedang berbahagia itu.