Dari Kegelapan Menjadi Penuh Cahaya
Penulis: Ilhamudin Yusuf Rahmanto
Suara burung yang saling bersautan di pagi hari. Menyambut hangatnya sinar mentari yang masuk menyelinap ke dalam kamar. Bangunlah gadis kecil bertubuh ramping, rambut panjang lurus, dan wajah yang cantik. Gadis itu bernama Umu, seorang siswi Madrasah Aliyah Negeri yang rajin dan penuh semangat. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi, kemudian…..
“Bangun nak, hari ini kamu sekolah”. Terdengar suara keras yang membuat Umu beranjak dari tempat tidur.
“Aku sudah bangun bu, ini lagi siap-siap mau berangkat”. Jawab Umu dengan lembut.
“Nak, hari ini kamu beli obat sendiri ya, ini uangnya. Soalnya ibu mau ke pasar dan sepertinya pulang larut malam, soalnya juragan ibu lagi dapat banyak pesanan”.
“Iya bu, tidak apa-apa, Umu bisa beli sendiri kok. Oh ya bu, onde-ondenya udah siap belum bu? soalnya Umu mau langsung berangkat sekarang”.
“Sudah nak, itu di atas meja. Ya Allah, padahal kamu sedang sakit, tapi ibu malah selalu memberimu beban berat. Andai saja kita dari keluarga mampu ibu pasti sudah pergi mengobatimu sejak dulu. Maafkan ibu ya nak”.
“Ibu jangan bilang begitu, kita harus bersyukur bu masih bisa menjalani hidup dengan bahagia”.
“Astaghfirullah, ibu khilaf. Kamu memang anak yang baik”.
“Ya udah bu, Umu berangkat dulu ya, udah siang soalnya. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, hati-hati di jalan”.
“Kasihan sekali kamu nak, masih muda diberi cobaan yang berat, sudah bapakmu meninggal, penyakitmu juga parah. Ya Allah berilah kebahagiaan kepada anakku ini”. Ucap ibu Umu di dalam hati
Sebenarnya Umu mengidap penyakit leukimia, penyakit itu telah menjangkit Umu sejak kelas 4 MI. Namun demikian, Umu tetap semangat dan selalu bersyukur kepada Yang Maha Kuasa.
Setibanya di sekolah, Umu langsung menjajakan onde-ondenya kepada teman-teman di sekolahnya. Onde-ondenya laris manis, hanya dalam beberapa menit saja barang dagangannya sudah habis tak bersisa. Bel masuk pun berbunyi Umu langsung membereskan barang dagangannya dan bersiap mengambil buku pelajaran di tasnya. Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 bel tanda berakhirnya pembelajaran hari itu pun berbunyi. Umu langsung membereskan barang-barangnya dan bergegas meninggalkan sekolahnya untuk membeli obat. Karena terlalu terburu-buru, Umu
menabrak Fajar yang sedang berjalan di depan kelasnya.
“Aduh, maaf jar aku tidak sengaja, aku benar-benar minta maaf”. Ucap Umu dengan halus.
“Maaf? Kamu gak liat baju aku kotor gara-gara kena wadah onde-ondemu yang banyak minyaknya itu”. Jawab Fajar dengan kasar
“Maaf jar, aku benar-benar tidak sengaja, soalnya aku sedang terburu-buru”
“Gak usah banyak alasan! Pokoknya kamu harus ganti baju aku! Sini duit kamu”. Bentak Fajar
Tanpa basa-basi Fajar langsung merebut uang Umu hasil kerja keras berjualan onde-onde tadi pagi.
“Ini masih kurang! Mana yang lain?!”. Bentak Fajar
“Ya Allah jar, jangan diambil jar, aku mohon itu uang yang sangat penting buat aku, aku mohon jar, aku mohon”. Pinta Umu dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.
“Gak usah banyak alasan! Sini duitmu!”. Pinta Fajar sembari mendorong Umu dengan keras.
Karena didorong begitu keras, Umu pun terjatuh, barang-barangnya, dan uang yang diberikan ibu tadi pagi jatuh dari kantong Umu berceceran di lantai. Tanpa pikir panjang, Fajar langsung mengambilnya dan pergi meninggalkan Umu yang tergeletak sambil menangis. Namun tidak ada satu pun teman yang menolong Umu. Hal ini dikarenakan
Fajar adalah anak dari direktur perusahaan terkenal di kota itu, oleh karenanya teman-teman yang lain takut dan merasa pasrah jika mendapat perlakuan buruk dari Fajar.
Dengan segera Umu menghapus air matanya dan beranjak dari sekolah pulang ke rumah. Di perjalanan, Umu bingung apa yang akan dikatakan kepada ibunya, jika uang yang seharusnya digunakan untuk membeli obat malah diambil oleh temannya hanya karena masalah sepele. Selama perjalanan pulang air mata Umu tidak berhenti
mengalir, dan berkali-kali Umu mengusap pipinya dan menghapus air matanya. Tak berapa lama, Umu pun sampai di rumah.
“Assalamualaikum”.
“Waalaikumsalam, udah pulang nak?”.
“Lo, bukannya ibu sedang sibuk di pasar membantu juragan?”.
“Sudah selesai, ternyata orang yang memesan barang juragan membawa banyak anak buah, jadinya cepet selesai deh, oh ya, gimana sudah beli obat?”. Tanya ibu Umu dengan senyum yang hangat. Melihat ekspresi ibunya, Umu tidak rela hati mengatakan kalau uang dagangan dan uang yang seharusnya digunakan untuk membeli obat telah dirampas oleh temannya, Fajar.
“Umu belum beli, soalnya Umu laper banget mau makan dulu hehe”. Jawab Umu dengan nada halus dan senyum manis di bibirnya, Umu membohongi ibunya karena takut jika ia berkata jujur malah akan membuat ibu cemas dan bisa saja terjadi konflik diantara kelurganya dengan keluarga Fajar.
“Ya udah, sana makan dulu. Tapi cepat ya, soalnya kata dokter kamu tidak bolehsampai telat minum obat, telat 2 jam saja bisa berakibat fatal lo”. Ucap ibu Umu dengan cemas.
“Baik bu”.
Setelah makan, Umu langsung ganti pakaian dan shalat. Setelah selesai shalat Umu berdoa kepada Allah SWT semoga Umu bisa mendapat rejeki di jalan dan bisa membeli obat meskipun bukan dengan uang tadi. Selain itu, Umu juga mendoakan Fajar semoga sikapnya cepat berubah menjadi lebih baik. Kemudian, Umu langsung pergi
dan minta izin kepada ibunya untuk beli obat. Selama perjalanan, Umu masih teringat kejadian tadi di sekolah. Tanpa sadar air matanya mengalir deras di pipinya sambil sesekali sesenggukan.
“Ya Allah, ampunilah hamba Mu ini Ya Allah, hamba sebenarnya tidak ingin membohongi ibu hamba Ya Allah, tapi jika tidak hamba lakukan, ibu hamba pasti akan bersedih, Ya Allah berikanlah hamba kekuatan, kesabaran, dan keikhlasan menghadapi cobaan ini”. Doa Umu di dalam hati.
“Astaghfirullohaladzim, Ya Allah aku sudah telat 1.5 jam belum minum obat bagaimana
ini? Aku harus bergegas ke dokter dan meminta obat walaupun harus berhutang dulu”. Batin Umu Namun, tidak begitu lama pandangan Umu kabur dan matanya berkunang-kunang. “Ya Allah apa yang terjadi padaku? Kepala ku terasa pusing, Ya Allah…..” Umu tergeletak di jalan dengan darah yang sudah mengalir di hidungnya. Sebenarnya
Umu memang sudah sering mengeluarkan darah dari gusinya, namun tidak sebanyak seperti saat dia mimisan seperti sekarang. Dengan secepat kilat warga yang melihat Umu pingsan langsung mengangkatnya dan membawanya ke rumah sakit.
Di lain pihak, Fajar malah tengah bersenang-senang di kafe dengan teman-
temannya. Bukannya menggunakan uang yang dirampasnya dari Umu untuk membeli baju, namun uang tersebut malah digunakannya untuk mentraktir teman-temannya di kafe tersebut.
“Ayo semuanya, silahkan pesan makanan yang kalian pengen, jangan malu-malu”. Tawar Fajar sambil tertawa tanpa merasa bersalah karena telah menggunakan uang rampasannya itu.
“oke boss”. Jawab teman-teman Fajar dengan serentak. Tak begitu lama, tiba-tiba ponsel Fajar berbunyi. Ternyata Ibu Fajar menelpon. Hati Fajar merasa bagaikan disambar petir mendengar kabar yang disampaikan ibunya. Ternyata Umu masuk rumah sakit, karena merasa bersalah atas yang dilakukannya kepada Umu tadi di sekolah, dengan segera Fajar meninggalkan teman-temannya dan bergegas menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Fajar melihat Umu yang sedang terbaring tak sadarkan diri di ruang ICU dengan berbagai macam alat pernapasan yang tertempel di tubuhnya. Di luar ruangan tampak ibu Umu yang terus menerus menangis tanpa henti dengan tangan yang penuh darah. Dengan perasaan takut dan cemas, Fajar mendekati ibu Umu dan menanyakan apa yang terjadi.
“Maaf bu, Umu kok bisa masuk ke ruang ICU?”. Tanya Fajar dengan gemetaran
“Nak Fajar, Umu nak, Umu…..”. Jawab Ibu Umu terbata-bata karena tangis yang tak henti-henti.
“Ada apa bu?”. tanya Fajar lagi
“Umu dalam keadaan kritis nak, penyakitnya kambuh”
Mendengar jawaban tak terduga dari ibu Umu, Fajar merasa berat dan lemas seakan ada batu yang menindih tubuhnya.
“Emang penyakit Umu apa bu?”. tanya Fajar penuh penasaran
“Umu kena leukimia, dan sudah memasuki stadium akhir. Dokter bilang umurnya juga tidak lama lagi”. Jawab ibu Umu sambil berlinangan air mata. Mendengar hal itu, Fajar merasa seperti jiwanya melayang dan tubuhnya lemas
seketika dan berubah dingin. Jam terus berdetak berbunyi lirih di tengah keheningan yang penuh aura kesedihan. 3 jam telah berlalu dan tiba-tiba……….
“Ibu, anak ibu sadar cepat kemari, ini adalah sebuah keajaiban, ini mukjizat”. Kata dokter dengan penuh semangat dan rasa gembira Dengan segera Ibu Umu dan Fajar masuk ke ruangan dan menemui Umu. Mereka berdua langsung duduk di sebelah Umu. Tiba-tiba Umu berkata “Ibu waktu Umu tidak lama lagi, jadi Umu ingin mengatakan sesuatu. Sebenarnya uang Umu habis makanya Umu tidak membeli obat. Maaf ya bu, Umu berbohong kepada ibu”. Umu berkata dengan suara yang amat lirih
“Ya Allah kenapa kamu gak bilang, kenapa uangmu bisa habis nak?”. Tanya ibu Umu sembari menangis.
“Maaf bu, sebenarnya yang mengambil uang Umu adalah saya, saya merasa kesal karena Umu menabrak saya, dan saya khilaf merampas uang Umu, mendorongnya sampai jatuh, lalu saya mengambil uangnya yang berceceran di lantai, saya tidak tahu kalau uang itu digunakan untuk membeli obat, saya juga tidak tahu kalau Umu kena leukimia, saya benar-benar minta maaf bu, tolong maafkan saya, Umu aku juga minta maaf, benar-benar minta maaf”. Ucap Fajar sambil menangis tersedu-sedu. Fajar tidak menyangka jika yang ia lakukan akan menimbulkan masalah besar seperti ini.
“Astaghfirullahaladzim, nak Fajar ibu benar-benar tidak menyangka kamu melakukan ini, Umu itu anak yang baik, dan tidak pernah nakal, kenapa kamu melakukan ini?”. Ucap ibu Umu dengan kesal.
“Saya benar-benar minta maaf bu, saya minta maaf”. Pinta Fajar dengan penuh penyesalan. Tiba-tiba Umu berkata dengan lembut.
“Bu, sudahlah yang terjadi biarlah terjadi, tolong maafkan Fajar dia tidak bermaksud begitu, ini memang jalan yang sudah diberikan kepadaku. Untuk Fajar aku punya pesan terakhir untukmu, kamu jangan nakal lagi, berbuat baiklah kepada temanmu, rajinlah shalat dan mengaji, sayangilah semuanya, dan teruslah berbuat baik, aku tidak mau melihat temanku sengsara di akhirat sana. Untuk ibuku tercinta, apapun yang akan terjadi berikutnya tolong jangan bersedih, inilah takdir yang diberikan kepadaku. Tolong maafkan Fajar, akurlah dengan Fajar, dan yang terpenting jalinlah silaturrahmi dengan keluarganya, sehingga aku bisa tenang di alam sana. Laa-ilaaha-illa-llah”. Pesan
terakhir Umu untuk orang-orang yang disayanginya.
“Umuuuuuu!! Tidak nak jangan pergi jangan tinggalkan ibu nak”. Teriak ibu Umu dengan tangis yang pecah.
“Innalillahiwainnailaihiraajiuun”. Ucap Fajar
Umu dimakamkan di hari itu juga, hujan pun mengalir dengan deras, seakan langit bersedih kehilangan sosok manusia yang berhati baik dan berbudi luhur. Pemakaman berlangsung mengharukan. Fajar dan keluarga juga hadir di pemakaman itu.
“Mbak, maafkan saya, ini adalah kesalahan saya karena tidak bisa mendidik Fajar dengan baik. Tolong maafkan dia”. Pinta Ibu Fajar sembari menangis.
“Sudahlah mbak, ini memang rencana yang Maha Kuasa, saya juga sudah memaafkan Fajar kok”. Jawab ibu Umu dengan halus.
“Ibu Umu, saya berjanji akan melaksanakan pesan terakhir Umu dengan sepenuh hati dan akan berjuang dengan keras untuk melaksanakannya”. Kata Fajar kepada ibu Umu.
“Saya percaya kamu bisa melakukannya”. Jawab ibu Umu sambil tersenyum. Setelah hari itu, Fajar berubah dari sikapnya yang nakal dan keterlaluan menjadi pribadi yang santun, baik, dan menyayangi sesamanya. Ia jadi rajin beribadah, mengaji, dan mengamalkan ilmunya di dalam kehidupannya. Fajar akhirnya memiliki teman-teman yang baik, serta hubungan keluarga Fajar dan Umu juga terjalin penuh harmonis.
Fajar berhasil berhijrah dari dunianya yang gelap menuju dunianya sekarang yang terang benderang penuh dengan rahmat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.