Bukan Cerita Widji Tukul

Kisah yang kuceritakan adalah kisah yang sebenarnya. Yang kupintal dan kurajut dengan rasa. Dan harus kuselesaikan, dengan segera.

Ini bukan cerita tentang Widji Thukul. Cerita ini, teralur tepat saat Orde Baru, beberapa tahun silam sebelum Reformasi.

“Kau ini janganlah malu-malu begitu. Coba kau kemarikan, abang nak lihat itu lukisan bersajakmu.” Ia menggoda dengan logat Batak yang dibuat-buatnya.

Aku tersipu dan terus mendekap erat buku gambar usang yang dibeli mamak saat belanja ke pasar dengan keranjangnya. Mamak akan pulang dengan segenggam alat tulis atau sebuah buku saat kembali dari berbelanja. Entah apa yang dipikirkannya, tapi semua itu bukan untukku. Berkali-kali aku merengek, baru kali ini aku mendapatkannya. Untuk hadiah ulang tahun katanya. Padahal mamak tidak tahu betul kapan tepatnya aku lahir. Dan sebenarnya, ulang tahunku sudah lewat 2 bulan sejak diberikannya buku gambar warna kuning usang ini.

Tidak banyak yang kuperbuat. Tugas anak perempuan hanya membantu mamak mengurus rumah dan adik-adik. Terbiasa mengantar ransum makanan untuk bapak di sawah, membuatku merasa bersyukur dapat merasakan segarnya angin yang berhembus di sawah dari pematang. Kuangkat sedikit jarik yang melekat agar tidak terkena air berbau amis di pematang.

Sesekali kuhentikan langkah, untuk mencari jalan terbaik yang dapat kupijak. Aku berteduh di balik pohon besar jauh di ujung sawah sambil membuat kalung dari daun kates yang menjari. Selesai aku merangkainya, kuintip bapak yang masih mencangkul di sawah. Aku terkejut. Terperanjat. Dan terdiam, membisu. Kucengkeram erat ranting manapun yang mampu kuraih. Tubuhku bergemetar disambut peluh dari pelipis yang tak kunjung reda. Lidahku kelu dan air mata mulai menggenangi pelupuk mataku.

Ayah dibawa oleh para militan tak dikenal dan membawanya dengan truck tertutup. Sebelumnya bapak sempat melihatku dari kejauhan dan menyuruhku menjauh dengan kibasan tangannya. Aku mundur teratur, menjauhkan pandangku dari cangkul yang masih kokoh berdiri seorang diri di tengah sawah tanpa sang empu. Aku menangis dalam diamku, apa yang akan kukatakan pada mamak. Hingga sebuah tangan mengajakku berlari menjauh dari pohon itu dan terus berlari.

“Sri, kamu harus ikut Paklik ke Nederland ya.”

Aku terdiam.

“Iya, Nduk. Pakde sudah tidak bisa melindungimu lagi. Satu-satunya sanakmu tinggal Paklikmu itu. Nanti, di Nederland kamu juga bisa belajar dan jadi sarjana,” bujuk Pakde Darmo.

Aku, paman, dan Mas Widodo bermusyawarah di rumah Pakde Darmo, tetangga kami yang rumahnya mau untuk menampung kami. Istri pamanku sendiri ikut diseret saat memasak dirumahnya. Begitu pula ibu dan adik-adikku. Widodo pun diajaknya ikut ke negara itu, namun ia menolak dan memilih untuk tinggal di Semarang bersama sanaknya.

Entah setelah itu paman beranjak dan menyiapkan berbagai keperluan, dari menelepon lawan bicaranya yang tak mungkin kukenal satu-persatu. Paman satu-satunya saudaraku yang masih hidup. Kata paman, semua keluargaku dihabisi sejak dari kakekku, dan aku satu-satunya yang luput untuk dieksekusi.

Kakekku adalah seorang orator ulung, begitu pula bapak dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Entah selebihnya, aku tidak terlalu mengerti dan aku tidak mau tahu lagi. Aku dan kedua adikku, tidak terdaftar dalam nama keluarga, kami tercatat dalam keluarga Pakde Darmo, yang istrinya adalah sahabat karib ibuku. Bapak sengaja melakukannya agar saat di kemudian hari terjadi sesuatu, kami masih dapat berlindung.

Aku dan Mas Widodo masih berbincang. Tidak, dia yang berbicara dan aku yang bungkam. Dia berbicara terlalu banyak, dan aku yang rindu akan kebersamaan kita ini. Pasti. Terlebih dari itu, aku menyadari sesuatu yang tak pernah terungkap sebelumnya. Yang belum pernah kurasakan saat aku ditemaninya menggambar di pinggir sungai. Yang selalu mengajakku ke surau setiap adzan berkumandang. Yang selalu membantuku mengurus adik-adik yang masih kecil.

Yang mengajakku serta saat ia menjadi pemandu acara kegiatan di kampung kami. Sekian lama ia menjadi kakak yang menemaniku, namun nyatanya tepat malam ini di bawah angin kelabu yang tertutup atap reot rumah sederhana pakde, hatiku mengatakan ia adalah orang yang istimewa dan mempunyai tempat tersendiri di hatiku. Yang mengajakku bicara menyayangiku. Umurku empat belas tahun dan pertama kalinya aku menolak dengan tegas. Umurnya tujuh belas tahun dan ia mengucap sebuah janji.

“Menikahlah denganku Sri, kamu tidak perlu pergi.” Bujuknya lirih dan penuh kepasrahan.

“Aku menyayangimu, Dewi Sri. Aku..”

“Aku minta maaf, tapi aku ingin ke Nederland dan menjadi sarjana. Melupakan keluargaku dan yang menimpa kami.” Untuk pertama kalinya aku angkat bicara dan menolak dengan tegas. Aku sungguh-sungguh ingin menjadi sarjana dan terpelajar, meninggalkan kemelaratan dan terangkat dari penindasan. Nampaknya hatiku sudah kelabu dan aku melupakan perasaanku. Dibalik penolakanku yang spontan, aku terus menyesal dan beribu-ribu kali berpikir untuk kembali mengulas pertanyaanya dan menjawabnya dengan kata, YA.

Ia menelan ludah dan melanjutkan kata-katanya,” Pulanglah, Sri. Saat waktunya tiba, kembalilah. Bangunlah bumi pertiwi ini dengan sajak-sajakmu yang bagak itu. Aku akan menunggumu di Semarang. Saat kamu pulang, aku berjanji kita pasti bersatu.” Di dalam keremangan malam, aku terdiam meremas jari dan memeluk hatiku.

Paman memberiku secarik kertas bertulis alamat, nomor, dan nama temannya. Nampaknya paman lupa, aku sudah sekian lama melupakan aksara semenjak mamak melarangku belajar aksara agar tidak menjadi bebal seperti bapak. Paman memberikan aksara yang tidak dapat kubaca. Dan aku kembali mengeja.

Aku memang benar tentang cinta. Bukankah cinta adalah afeksi terdalam yang dapat menggerogoti baja yang tak pernah dapat dilunakkan. Bukankah kidung rindu adalah selimut terhangat yang dapat kau buat dengan sutera kenangan manis yang tak pernah ingin kau lupakan. Sebuah kamuflase dalam narasi pertemuan dua sejoli di bawah gubug reot yang hanya mengikis waktu dengan luka.

Aku enggan menyerahkan diriku padamu, nyatanya aku memang seegois ini untuk kau rindui. Nyatanya aku sebagak ini untuk kau tunggu kedatanganku. Dan siapa sangka yang kau rindu bukanlah aku nantinya. Siapa sangka yang menjadi takdirmu adalah bukan namaku. Bukan Dewi Sri yang dikepang dua dari desa sebelah. Begitu banyak spasi yang bergabung dalam urusan kita berdua.

Aku berkata intan, engkau menyebutnya lazuardi

Aku berkata kaca, engkau menyebutnya cermin

Aku berkata langit, engkau menyebutnya angkasa

Aku berkata surga, engkau menyebutnya nirwana

Pada frasa yang berbeda. Suatu afeksi tetap berwujud pada entitas yang sama. Esensi yang serupa. Kesumba merah jambu pada pancarona yang mengagumkan. Dari jalang yang penuh dosa di atas buwana yang penuh nista.

Arupadatu. Kelabu. Absurd. Pancarona. Nirwana. Luka. Abonemen. Prominen. Klise. Imitatif. Delusif. Debil. Alusio. Maestro. Kuberikan definisi rasa dalam perjalanan tanpamu ini.

Antonie van H

Leiden

Paman berbohong kepadaku. Tak pernah ia mengikutiku ke Nederland sejak itu. Ia menitipkanku pada temannya mahasiswa Leiden di bandara. Dan hidupku, berlanjut dengan damai bersama sahabat karibnya, vader Antonie dan mader Valentine.

Aku tak pernah benar-benar bisa mengingat setiap detil hal yang pernah kulalui kala itu. Selepas malam itu dan paman yang ditembak mati di bandara, aku telah mengalami benturan keras dalam hidupku dan menjadi sebatang kara. Yang kutahu dari kedua orangtuaku tercinta, mereka dahulu dapat kembali ke Nederland atas bantuan bapak dan paman.

Hal itu membuatku menjadikan mereka begitu menyayangiku dan tekun mengajariku membaca dan menulis hingga sarjana. Aku teringat pada secarik kertas lusuh di kotak yang teronggok di lemariku sejak dua puluh tiga tahun lalu, saat mader memperkenalkan dirinya dan merapihkan barangku di sana.

Pulanglah Sri, ke Indonesia tercinta

Widodo, Semarang (1983)

Barangkali ada kenangan yang kulupakan. Tetapi tugasku saat ini adalah kembali ke Indonesia untuk penelitian kebudayaan. Aku mempelajari sejarah dan berharap mendapat titik terang atas kisahku di masa lampau. Ironisnya, aku ini sejarawan yang tak ingat akan kisah klasik hidupnya.

Vader dan mader terus meyakinkanku akan kembali lagi ke Nederland saat selesai akan tugas kantorku. Mader menangis tersedu-sedu seperti saat pertama kali melihatku dan mengetahui aku tinggal sebatang kara. Dan saat itulah, aku mengingat malam dimana mader saat masih muda menangis di pelukan mamak dan berharap dapat kembali ke negaranya. Mereka melepasku di bandara seperti melepas anak semata wayangnya pergi tanpa jumpa kembali.

Aku terlalu sibuk untuk mengurus karirku dan melakukan wawancara hingga ke pelosok suku anak dalam ditemani Deni yang merupakan guideku di nusantara ini. Memang benar cerita teman-temanku, di sini begitu banyak perbedaan dan begitu tinggi toleransi. Bahkan bisa jadi, berpindah beberapa kilometer saja sudah berbeda budayanya di Sumatera ini.

Aku bertolak ke Sulawesi, Papua, Maluku, lalu ke Pulau Jawa. Terakhir tujuanku akan ke Pulau Dewata, Bali. Tapi, karena suatu keperluan, Deni mengajakku ke Semarang untuk mengurus berkas yang belum kulengkapi saat tinggal di sini. Semarang. Widodo. Aku dapat berbahasa Indonesia sebenarnya, karena mader menjaga bahasa darahku itu semenjak aku di sana.

Vriend Deni, apa je mengenal Widodo?”

Unbelievable. You speak fluently, Ma’am.”

“Mrs.”

“Oh okay I’m sorry, Mrs. Tadi apa? Widodo siapa? Banyak Widodo di Semarang ini. Atau Widodo yang terkenal itu? Dengan tulisannya yang ambruladul tapi mak jleb?”

Just Widodo, Semarang.”

Deni berkutat dengan pekerjaannya. Aku disuguhinya tumpukan koran untuk mencari Widodo. Lalu ia memberiku file mengenai Widodo. Biografinya tidak jelas, fotonya sangat gagah dan aku tidak mengenalnya. Tapi aku terkesiap dan terdiam. Pulanglah, Sri. 1996. Aku akan menemukannya.

Deni tak begitu yakin, karena sejak 1998 Widodo sudah tak berkarya dan membisu. Kami tiba di suatu desa yang tak bisa kusebutkan namanya. Kami terus mencari dan bertemu seorang nenek yang sudah berumur. Sangat renta. Saat kusebut nama Widodo, ia langsung menyeretku ke rumah. Kami disambut perempuan sepantaran denganku dan … umm … Widodo? Aku menatapnya dan tanpa sadar menggumamkan nama Widodo.

“Ini Widodo, Mbak, Mas.”

“Kami mencari Mas Widodo penulis tahun 97 an, Mbak.”

Ia terhenyak. Menunduk dalam-dalam dan menatap kami tanpa sepatah katapun. Aku bertanya tak sabaran dan ia memastikan siapa kami. Aku menjelaskan kami ada tugas untuk menelaah masa 90-an. Tanpa kukenalkan identitasku, ia mulai bercerita lirih. Aku mendengarnya berkisah sebagai Emily Valentine yang mewawancara istri Widodo. Hingga titik poin yang dapat kucerna dengan pasti.

Widodo menikah dengan Ernawati dan memiliki anak yang dinamakan Reno Widodo. Widodo bukan orang yang berpendidikan tinggi, namun  ia seorang orator pemberani. Hingga suatu hari, karena banyak yang tak suka dengan tulisan Widodo, setiap malam ia gelisah dan pergi ke rumah temannya. Dan tak pernah kunjung kembali. Dan nenek tua itu, katanya adalah ibu dari mantan kekasihnya, Dewi Sri yang tak kunjung datang. Nenek itu berhasil diselamatkan kepolisian setempat saat hampir dieksekusi massa.

Aku terpaku. Menatapnya dan meluncurkan derasnya air mataku.

“Mamak… Sri…” Aku menangis dan menghampirinya.

“Srii??? Sriii???” Saat aku berumur empat belas tahun, mamak masih 28 tahun, dan kini mamak masih dapat mengingatku.

Tapi ternyata, ingatan mamak berhenti saat aku pergi mengantar ransum dan sebelum diseret pergi oleh sekelompok orang tak dikenal. Trauma yang dialami mamak, membuatnya mengingatku sebagai Sri kecil yang pergi ke pematang sawah.

“Sri, ndang mangkat, Pak’e arep dhahar.”

Aku menangis.

Atas rasa syukurku dengan mamak yang dapat kugenggam dengan erat raganya. Legenda hidup yang dapat kutelusuri dengan segala bayang yang tak pernah dapat kuingat. Meski aku tak pernah bisa mendapat cerita hidupku dari mamak, aku tidak akan meninggalkan mamak sendiri lagi.

Dan aku kembali teringat, saat anak Widodo menghampiriku. Widodo tidak pernah benar-benar menungguku. Yang jelas tiada penghianatan yang kulakukan dalam kisah ini. Aku yang terlalu egois dan pergi dengan asaku tanpa tetapi dan karena. Tanpa ikatan janji pula aku terbang bersama sejuta kecewaku yang tak pernah dapat kusampaikan pada sosok yang selalu kudambakan.

Dan ia yang terlalu rapuh dalam menahanku malam itu. Entah siapa yang bersalah dalam kasus ini, aku tak benar-benar bisa memisahkan yang mana fakta dan duka lara. Saat ini, semua kenangan pahit itu hanya dapat kunikmati dengan sesesap kopi yang dihidangkan istri Widodo dengan kepahitan yang tiada terperi. Pada akhirnya orang yang berjanji padaku akan berakhir dengan mengingkarinya. Dan aku yang selalu berusaha mengingat masa lalu telah berada pada titik balik kehidupan.

“Mbak Sri yang ada di sajak bapak itu ya?” ujar Widodo.

Nyatanya aku kembali menelan luka dan merajut hatiku yang terlanjur menjadi kepingan kertas saat mengetahui Erna adalah istri Widodo.

“Sri..” Erna mendekatiku.

Ik heet Emily, Emily Valentine.” ujarku kalut.

Deni yang menjadi saksi mata akan aku dan apa yang terjadi di rumah itu. Kisah yang tak akan kembali kukenang dan aku memutuskan kembali ke Nederland meninggalkan mamak. Pada akhirnya aku tetap memantau mamak lewat Deni dan Erna yang kini telah bersatu dalam kisahnya sendiri.

Dan aku, meneruskan kisahku untuk mengelana ke pelosok dunia dan menemui anak-anak yang tumbuh tanpa walinya. Merajut kembali mimpi yang baru bersama generasi-generasi yang mampu mengguncang peradaban, aku ingin menjadi bagian dari hidup mereka.

Ingatlah kita pernah menjadi legenda. Tepatnya kau yang berada di lembar pertama surat kabar. Sang maestro yang terbang ke awang-awang, dan pedusi elitis nan rupawan, bak rangkaian pedagogi yang bertautan. Seandainya. Dan kini, sambil berkisah kubisikkan, berkabung kasihku seabad lagi pada sekeping hati yang telah pergi. Kini rasaku adalah samudra kelabu terukir dalam roman adiluhung lintasan waktu.