BPK Pendorong Akuntabilitas Rumah Tangga Negara

BPK Kawal Harta Negara – Dewasa ini, Indonesia sedang sibuk berbenah dan mempersiapkan diri untuk mencapai tujuan yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 yang berisi Visi Indonesia 2020, salah satunya yaitu terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih.

Untuk mewujudkan hal tersebut, sesuai dengan prinsip Good Govervance menurut United Nation Development Program, yaitu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas yang merupakan prasyarat terciptanya demokrasi yang sesungguhnya.

Demokrasi adalah tentang membangun relasi antara negara dengan masyarakat serta pasar yang proporsional. Menurut Purwo Santoso, Good Governance yang ideal adalah sesuai dengan konsep demokratis yaitu tata pemerintahan berasal dari rakyat (partisipasi), dikelola oleh rakyat (institusi yang legitimate, akuntabel, dan transparan), serta dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan masyarakat.

Anggaplah dalam suatu rumah tangga, ada seorang ayah, ibu, dan anak-anak. Tugas seorang ayah adalah bekerja mencari nafkah dan menjadi tulang punggung keluarga. Seorang ibu akan mengelola penerimaan tersebut dan mengalokasikan ke berbagai kebutuhan. Secara tidak sadar, ibu telah menjadi laporan akuntan tak tertulis dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah membagi sesuai dengan porsi, ibu akan memeriksa, apakah anggaran tersebut memang benar-benar untuk keperluan kebutuhan tersebut. Untuk memastikannya, dilakukan dengan mengukur keberhasilan atau kesuksesan kebutuhan tersebut.

Pada dasarnya hal tersebut sama pada sistem pemerintahan. Adanya tiga badan pemerintahan yang meliputi, legislatif, eksekutif, dan yudisial, menurut Montesque, hal tersebut adalah untuk penyelenggaraan negara dari, oleh, dan untuk rakyat. Anggaplah uang terus berputar, dari pemerintah yang menggunakan anggaran untuk meningkatkan infrastruktur negara, kemudian pemborong dan para pekerja mendapatkan penghasilan.

Penghasilan tersebut akan digunakan untuk konsumsi atau ditabung dan diinvestasikan di dalam bank, yang kemudian bank akan menjadikan tabungan atau investasi tersebut sebagai dana pinjaman kepada masyarakat lain yang membutuhkan.

Hal tersebut terus berulang dan berputar-putar seperti siklus. Lalu, bagaimana apabila ada penggunaan anggaran yang kurang optimal dalam memenuhi kebutuhan, salah satunya dengan penyelewengan dalam penggunaan anggaran.

Disengaja ataupun tidak, hal tersebut tentunya akan menarik pemerintah dari siklus, dan membuat siklus kurang optimal, terlebih faktor goverment (G) adalah salah satu pendorong peningkatan Produk Domestik Bruto atau total pendapatan dan pengeluaran di suatu negara dalam nilai mata uang Rupiah pada suatu periode waktu.

Apabila pemerintah tidak berbelanja (G), maka beberapa masyarakat berkurang penghasilannya, sehingga mengurangi konsumsi atau menabung serta berinvestasi. Tentunya dapat kita lihat dalam persamaan berikut, hal tersebut akan menurunkan pendapatan nasional yang merupakan sumber dana bagi anggaran untuk memenuhi kebutuhan negara.

Y=G+C+I+X
(Y) Pendapatan nasional
(G) Belanja pemerintah
(C) Konsumsi rumah tangga
(I) Investasi
(X) Ekspor dikurangi impor

Untuk mengoptimalkan pengelolaan anggaran negara, maka harus ada pendamping seperti seorang ibu dalam rumah tangga yang memeriksa alokasi dan realisasi dana tersebut. Itulah mengapa suatu Badan Pemeriksa Keuangan dibentuk dengan prinsip bebas dan mandiri sebagai rekan horizontal Presiden yang tak terikat. Kini, BPK sebagai badan independen tampil dengan suatu prinsip yang lebih kredibel dan akuntabel.

Sesuai dengan pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan BPK untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara. Seiring berkembangnya waktu, Indonesia semakin maju dan terpelajar, dengan begitu banyak dibuat peraturan tentang pemeriksaan dan pengelolaan keuangan, yang kemudian dijadikan landasan operasional bagi BPK.

Terkhusus pada tahun 2001, adanya ketetapan yang lebih tegas dalam pasal 23E dengan menambahkan kata “bebas dan mandiri”, yang merupakan titik awal perkembangan pesat BPK setelah lepas dari Orde Baru dan Orde Lama. Perubahan lain yang tak kalah pentingnya setelah amandemen adalah ketetapan bahwa BPK tidak hanya sebagai pemeriksa, tetapi juga pengelolaan keuangan negara.

Pada masa Orde Lama, Presiden sebagai Pemeriksa Agung, sedangkan Ketua BPK diangkat menjadi Menteri yang berada di bawah komando Presiden yang saat itu merupakan Pemimpin Besar Revolusi.
Pada masa Orde Baru, BPK mulai diposisikan di luar pemerintahan, namun masih terjadi reduksi wewenang yaitu pembatasan objek pemeriksaan, metode pemeriksaan, serta isi dan laporan hasil pemeriksaan.

Tentunya hal tersebut mengikat ruang gerak BPK, karena sebelum membuat laporan, hasil pemeriksaan harus diserahkan kepada pemerintah dan harus mendapat persetujuan Sekretariat Negara sebelum diserahkan kepada parlemen. Terlebih, hasil pemeriksaan setelah itu, hanya dapat menjadi konsumsi kalangan tertentu, yang menyebabkan transparansi tercederai. Hal ini berdampak pada kredibilitas yang akhirnya juga diragukan oleh masyarakat sebagai pemegang demokrasi tertinggi.

Akuntabilitas yang transparan tentunya akan memudahkan pemerintah mengetahui posisinya saat ini secara faktual, sehingga mengetahui kebijakan apa yang terbaik untuk mengatasi masalah atau bahkan meningkatkan potensi yang dimiliki. Dengan informasi yang akurat, maka kontrol terhadap negara akan lebih mudah dilakukan dan kehematan waktu dalam membuat kebijakan akan segera terselesaikan.

BPK sebagai badan independen yang menjunjung integritas dan profesionalisme dalam mewujudkan pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat, tidak hanya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, akan tetapi juga melaporkan langsung kepada penegak hukum dalam pemeriksaan apabila ditemukan indikasi tindak pidana.

BPK sebagai badan mandiri juga berhak memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan dan melaporkan secara tertulis kepada lembaga perwakilan dan pemerintah. Keuangan negara yang dimaksud meliputi, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya seperti Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

Ada tiga jenis pemeriksaan, pertama yaitu pemeriksaan keuangan atas laporan dengan hasil pemeriksaan berupa opini yang merupakan pernyataan profesional mengenai kesesuaian dengan standar, kecukupan informasi, kepatuhan terhadap peraturan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.

BPK berhak mengeluarkan salah satu dari pernyataan tersebut, yaitu wajar tanpa pengecualian yang dianggap baik secara umum, wajar dengan pengecualian yang dianggap bebas dari salah saji materiil kecuali rekening atau item tertentu, tidak wajar yang berarti mengandung salah saji materiil yang dapat menyesatkan pengambilan keputusan, dan menolak memberikan pendapat karena auditor tidak dapat meyakini kewajaran laporan akibat pembatasan ruang lingkup pemeriksaan atau informasi.

Kedua yaitu pemeriksaan kinerja atas aspek ekonomi yang berarti meminimilisasi biaya sumber daya dengan mengindahkan mutu, efisiensi yang merelasikan optimalisasi masukan atas hasil, dan efektivitas yang merujuk pada dampak kinerja pada tujuan. Hasil pemeriksaan tersebut berupa temuan, simpulan, ataupun rekomendasi. Yang ketiga, pemeriksaan khusus atau sebagai tindak lanjut pemeriksaan persoalan penting yang harus diselesaikan.

Dalam menjalankan tugas, BPK dapat meminta bantuan akuntan publik atau tenaga ahli untuk melakukan pemeriksaan dan melaporkan hasil. Hal tersebut untuk membantu 9 anggota BPK pusat dan 34 cabang BPK daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dalam penemuan tindak pidana yang melibatkan subjek (rechtssubject) termasuk di dalamnya orang (natuurlijke person) atau badan hukum (rechtspersoon), perbuatan melawan hukum, dan akibat yaitu merugikan ekonomi negara, merugikan bangsa dan negara.

Ketiga unsur menurut Neo Klasik tersebut menuntun BPK untuk mengelola pemeriksaan melalui data pemantauan tindak lanjut secara real time yaitu Sistem Informasi Pemantauan Tindak Lanjut. Tetapi tidak semua kesalahan akuntabilitas akan merujuk pada pidana.

Apabila memang kesalahan dalam perhitungan dan ketidaksengajaan, maka BPK akan mengusut siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengganti kerugian sesuai pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006.
Sistem pengendalian mutu internal BPK juga ditelaah (peer review) oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan sedunia yang ditunjuk oleh BPK dengan pertimbangan DPR (Pasal 33 UU Nomor 15 Tahun 2006).

Tentunya hal ini menjadikan BPK semakin dapat dipercaya dalam memeriksa badan lain, karena dalam BPK sendiri juga dilakukan pemeriksaan oleh pihak lain di luar BPK.

Peran BPK dalam mengawal harta negara adalah sebagai pendamping dari perencanaan hingga evaluasi dana tersebut digunakan. Dengan keterlibatan BPK dalam pengelolaan dana, maka secara tidak langsung BPK dapat mengurangi korupsi yang merupakan formula dari kekuatan monopoli dan adanya keleluasaan bertindak. Karena akuntabilitas merupakan unsur yang berbanding terbalik dalam terjadinya korupsi.

C = M + D – A
(C) Corruption
(M) Monopoly
(D) Discretion by officials
(A) Accountability

Selain korupsi yang dilakukan oleh internal pemerintah atau badan, kita sebagai sektor rumah tangga terkadang juga menjadi hambatan BPK dalam melakukan tugasnya. Mengakarnya masalah low literacy percentage yaitu tidak peduli terhadap hak publik sehingga akuntabilitas pejabat berkurang dan mendorong terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme.

Kemudian adanya poor standard of living yang merupakan perbuatan mencari uang dengan cara kurang baik oleh pekerja akibat memiliki gaji rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup. Adanya general decline in the moral value atau rendahnya moral akibat sikap hidup materialistis dan konsumeris. Tentunya dengan berbagai literasi tentang akuntabilitas publik, diharapkan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mengawasi jalannya pemerintah yang optimal sesuai dengan standar dan rencana.

Akuntabilitas publik mendorong pada pelayanan publik yang berkualitas dan terpercaya. Dengan dipastikan bahwa tidak adanya beberapa lembar bahkan segepok uang masuk kantong pribadi, maka anggaran akan optimal untuk unsur belanja pemerintah (G), uang beredar pada masyarakat tinggi atau gaji masyarakat meningkat, sehingga konsumsi (C) dan tabungan (S) serta investasi meningkat.

Dengan begitu, penerimaan nasional akan meningkat. Dengan penerimaan pemerintah meningkat, maka anggaran pendapatan belanja negara dapat dioptimalkan, dengan begitu diharapkan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi, kesejahteraan meningkat, dan sarana untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dapat terfasilitasi dengan anggaran.

Mari kita bersama-sama dalam mewujudkan Visi Indonesia 2020 untuk penyelenggaraan negara yang baik dan bersih dengan turut mendukung BPK kawal harta negara.

Daftar Pustaka

[Anonim] Badan Pemeriksa Keuangan. Mengenal Lebih Dekat BPK: Sebuah Panduan Populer. Jakarta Pusat: Biro Humas dan Luar Negeri BPK.

Mankiw, N. Gregory. 2006. Principles of Economics: Pengantar Ekonomi Makro (Ed. Ketiga). Jakarta: Salemba Empat.

Andrianto, Nico. 2007. Good Goverment: Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui E-Goverment. Palangkaraya: Bayu Media.

Santoso, Purwo. 2002. “Institusi Lokal dalam Perspektif Good Governance”. Makalah. Yogyakarta: IRE.

Riadi, Muchlisin. 2013. “Pengertian dan Jenis-Jenis Opini Audit”. Kajian Pustaka. 7 Oktober 2013. Diunduh dari <http://www.kajianpustaka.com/2013/10/pengertian-dan-jenis-jenis-opini-audit.html /31/01/2018>.

[Anonim]. 2012. “Akuntabilitas Public sebagai Pilar Good Governance”. Diunduh dari https://administrasinegaraku.blogspot.co.id/2012/07/akuntabilitas-publik-public.html /31/01/2018.

[Anonim] Wikipedia. 2016. “Visi Indonesia 2020”. Wikipedia. 10 Maret 2016. Diunduh dari https://id.wikipedia.org/wiki/Visi_Indonesia_202 /31/01/2018.

Leave a Comment