Untuk Siapa hijrahmu ?

Penulis : Arvy Nirmala Ariyanto

Aku baru saja terbangun dari tidurku. Tanpa harus dibangunkan alarm, aku sudah mulai mampu bangun pukul 03.15 WIB. Mungkin ini yang dinamakan jam tidur biologis dimana tubuh ini sudah diplot untuk bangun dan tidur seperti kebiasaan kita sehari-hari. Padahal baru dua minggu ini aku merutinkan shalat tahajud, tetapi pengaruhnya sudah cukup terasa.

Ya, baru-baru ini aku memutuskan untuk berhijrah. Aku pernah mendengar, barang siapa yang dekat dengan Allah pasti doanya akan cepat diijabah. Karena aku sedang menunggu pengumuman kelulusan seleksi masuk perguruan tinggi, maka doa-doaku berisi perguruan tinggi yang ingin aku masuki lengkap beserta jurusannya. Aku sangat percaya akan mustajabnya doa pada waktu shalat Tahajud.

Aku pernah membaca di instagram, seorang imam besar mengatakan bahwa doa saat Tahajud laksana anak
panah yang melesat tepat mengenai sasaran. Pagi yang sangat dingin di Bandung. Aku cukup bangga menjadi anak Bandung tulen.

Bandung adalah kota yang indah menurutku. Meskipun termasuk kota besar, udaranya masih sejuk. Aku sendiri tinggal di Perumahan Bukit Ligar Raya yang bisa kubilang bagai negeri di atas awan. Selain karena jalanannya yang menanjak, pemandangan dan rumah-rumah disini pun sangat indah dengan arsitektur dan eksteriornya yang ala-ala Turki dan halamannya yang banyak dihiasi bunga warna-warni.

Kebanyakan bunga-bunga disini adalah bunga bougenvil. Begitu pula rumahku, namun bedanya rumahku sudah tidak terlalu terawat karena ditinggal oleh para pembantu dan tukang kebunnya yang sudah tidak tahan dengan gaji yang menunggak.

Semenjak ayah di PHK, kami hidup dengan sederhana. Rumah saja yang besar namun untuk biaya sekolah aku dan adikku saja ayah harus bekerja dengan ekstra. Aku dan ibu lebih sering ke dapur untuk memasak atau mencuci piring dari sebelumnya. Ayahku mulai membersihkan halaman depan dan belakang serta mengurus rumah ini dengan tangannya sendiri. Adikku yang biasanya hari minggu digunakan untuk bermalas-malasan sekarang digunakan untuk mencuci baju yang sudah ia tumpuk selama satu minggu. Dan aku sendiri mulai dekat dengan-Nya. Memanjatkan doa-doa pada-Nya di setiap sujudku, di setiap waktu-waktu mustajab yang aku tahu.

Sambil menunggu pengumuman kelulusan seleksi masuk perguruan tinggi, aku memutuskan untuk bekerja. Biasanya aku berangkat pukul 08.00 dari rumah dengan menggunakan angkot berwarna merah jambu jurusan Simpang Dago-Gedebage. Mobil kami sudah terjual semuanya. Dan lagi pula itu akan sangat aneh jika aku pergi menggunakan mobil untuk bekerja disebuah konveksi kecil di daerah Dago.

Di sini ada hanya ada tiga pegawai yaitu seorang laki-laki berumur 35 tahun yang selalu berkutat dengan mesin jahitnya, ibu muda berumur 25-an yang bertugas memasak dan menyiapkan segala keperluan yang berhubungan dengan logistik serta aku yang bertugas pada pencatatan dan pengiriman pakaian-pakain yang dipesan melalui online.

Meskipun usia kami terpaut jauh, namun kami dapat berteman dengan baik. Mereka sangat ramah dan pengertian. Terutam dengan Pak Dinus, seorang penjahit yang handal menurutku. Dia sudah seperti teman sebayaku. Mengobrol dengannya, waktu terasa sangat singkat, kami bisa mengobrol banyak hal. Entah itu politik, pendidikan, agama, bahkan tentang cinta yang pada kenyataannya kami berbeda generasi.

“Pandan, tolong belikan kancing tanam dan resleting yah. Bu Wati kok belum datang-datang yah?” kata Pak Dinus seperti bertanya pada dirinya sendiri.

“Keheula Pak,” jawabku, yang artinya nanti dulu Pak. “Lima belas menit lagi, ok Pak?”

“Mau ngapain Pan?” tanya Pak Dinus padaku.

“Ini Pak jeung shalat Duha.” jawabku, yang artinya aku mau shalat Duha

“Wah-wah kok jadi rajin nih anak?” Pak Dinus mulai meledek.

“Saya ingin berhijrah Pak, hehehe.” jawabku dengan semangat.

Lalu Pak Dinus menyeletuk, “Kalau begitu doakan saya yah. Supaya cepat dapat jodoh lagi.”

Jadi Pak Dinus ini adalah seorang duda, dia memiliki seorang anak laki-laki berumur 5 tahun yang tinggal bersama istrinya di daerah Bandung juga. Sedangkan Pak Dinus tinggal di konveksi ini atas saran dari pemiliknya. Dia adalah salah satu inspiratorku dalam berhijrah.

Aku belajar banyak tentang kehidupan dan keagamaan darinya. Dari cerita yang dia tuturkan, dulunya dia adalah seorang pendosa. Dan dulu aku menolak untuk percaya sebelum mendengar cerita itu langsung dari Pak Dinus.
Tak terasa satu bulan sudah aku menunggu hari ini. Ya, hari ini hasil seleksi masuk perguruan tinggi akan diumumkan secara online.

Aku akan membukanya di tempatku bekerja karena hasil baru diumukan siang nanti. Di dalam angkot aku selalu merapalkan doa-doaku dengan jantung yang terus berdegup kencang. Pertanyaannya apakah aku akan seperti ini terus sampai nanti siang. Entahlah, yang aku tahu aku telah berusaha semaksimal mungkin saat mengerjakan soal-soal saat itu.

Aku telah melakukan semua amalan yang dapat memudahkan diijabahnya doa-doa, dan akau pun telah mendekatkan diri kepada Sang Pengijabah doa dengan berhijrah.

“Disini Neng?” sopir angkot memberhentikan angkotnya tepat di depan konveksi dimana aku bekerja.

“Oh iya pak, terimakasih. Ini Pak.” Ku sodorkan beberapa lembar uang kertas dan langsung pergi.

“Neng meuni loba teuing. Ini kembaliannya.” Sopir tadi terkejut mengapa aku membayar dengan uang lebih dan langsung pergi.

“Tidak apa-apa Pak. Untuk Bapak saja.” kataku sambil tersenyum.

Lalu sopir itu berterimakasih padaku,“Ya Allah, aya-aya naon si eneng. Nuhun nya.”

“Iya Pak sama-sama.” jawabku.

Aku berharap itu menjadi ibadah tambahan bagiku sebelum nanti aku membuka pengumuman yang sangat penting untukku, yang sangat mempengaruhi hidupku nanti kedepannya. Yang aku rasakan, waktu berjalan sangat lambat. Jujur saja, di satu sisi aku sangat penasaran dengan hasilnya, di sisi lain aku juga takut akan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Namun untuk kesekian kalinya aku mencoba untuk berpikir positif. Dengan hijrahku ini dan dengan usahaku, aku percaya doa-doaku pasti diterima oleh-Nya.

“Coba Pan, dibuka pengumumannya sudah jam dua loh.” kata Pak Dinus yang sepertinya dia juga sama tak sabar sepertiku.

“Iya Pak, ini servernya sedang penuh.” jawabku yang hatinya sedang tidak karuan.

“Saya juga penasaran loh Pan. Jadi kalau kamu lolos kamu akan berhenti berkerja dong?” tanya Pak Dinus.

“Iya dong Pak, saya menjadi anak kuliahan nanti. Hehehe.” jawabku sambil membayangkan betapa asiknya menjadi anak kuliahan.

“Wah saya jadi bingung harus mendoakan lulus atau tidak ini. Hahaha.” ledek Pak Dinus.

“Yah jangan gitu dong Pak.” jawabku menggerutu.

“Iya iya, semoga Allah memberikan yang terbaik ya.”

“Aamiin.” kami mengucapkannya bersama.

Akhirnya, aku bisa masuk ke website pengumumannya. Aku lalu mulai menuliskan nomor ujian satu demi satu. Tanganku gemetar dan berkeringat. Mulutku sibuk merapalkan doa-doa. Jantungku berdegup kencang yang kupikir suaranya sampai bisa ku dengar. Kakiku seperti kesemutan dan untungnya perutku tidak mulas. Dan akhirnya aku sampai pada angka yang terakhir.

Sempat terbesit pikiran untuk menghapus deretan dua belas angka ini dan menuliskannya kembali sebagai upaya mengulur waktu karena sepertinya aku belum siap untuk mengetahui hasilnya. Tapi aku kira itu hal yang sangat konyol. Dan akhirnya, klik, aku memencet tombol submit. Lalu hasilnya muncul di layar ponselku. Aku membaca dengan seksama deretan huruf itu. Perasaanku campur aduk, rasanya tidak bisa diumpamakan dengan majas apapun, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata apapun bahkan dengan pemilihan diksi yang baik sekalipun.

“Bagaimana Pan? Luluskan?” Pak Dinus bertanya ingin tahu.

Aku hanya terdiam. Tidak ada kata-kata yang mampu kuutarakan. Aku perlu jeda waktu untuk mencerna semua ini.

Beberapa saat kemudian aku baru mulai mampu membuka mulut, “Tidak Pak. Saya tidak lulus” aku menjawab dengan suara yang tertahan di tenggorokan. Bahkan aku sendiri rasanya tidak dapat mendengar suaraku. Entah Pak Dinus mendengarnya atau tidak.

Semenjak itu aku merasa sangat tidak berselera melakukan apapun. Bahkan untuk shalat pun aku merasa sangat malas. Aku merasa apakah hijrahku tidak diterima oleh-Nya? Apakah semua amalan-amalan yang kulakukan ini kurang? Apa salahku? Mulai saat itu aku tak sesemangat dulu lagi dalam melakukan kebaikan, bahkan cenderung malas. Ikrar hijrahku sudah kulupakan.

Amalan-amalan sunah tak lagi kulakukan. Yang aku rasakan saat itu hanyalah kecewa yang amat menyakitkan. Aku ingin marah, tapi tak tahu kepada siapa. Aku merasa harapan-harapanku pupus seketika. Lalu apa setelah ini? Apa yang harus kukatakan kepada kedua orang tuaku? Apa yang akan dikatakan oleh para tetangga? Entah mengapa aku masih memikirkan omongan tetangga-tetanggaku nantinya. Entahlah. Yang aku tahu aku merasa semua yang kulakukan sia-sia.

Namun sekecewa apapun diriku, hidup ini tetap terus berjalan. Meskipun sempat beberapa hari hanya mengurung diri di kamar. Hari-hari selanjutnya aku tetap menjalani rutinitas dengan normal. Semuanya berjalan dengan biasa. Kecuali hati dan pikiranku. Aku memikirkan setiap hal dan meratapi banyak hal. Aku sempat ijin beberapa hari untuk tidak masuk kerja.

Dan ini adalah hari pertamaku masuk kerja setelah tragedi pembukaan pengumuman itu terjadi. Hari Sabtu yang melelahkan menurutku. Padahal hatiku merasa lelah di setiap harinya.

“Pan nggak shalat Duha?” tanya Pak Dinus.

“Nggak lah Pak, malas.” jawabku seenaknya

“Oh gitu.” kata Pak Dinus yang tak kusangka dia akan menjawab dengan sesantai itu. Mungkin dia sudah maklum dengan keadaanku.

Siangnya Pak Dinus kembali mengingatkanku akan hijrahku yang dengan mengingatnya
saja membuat dadaku sesak.

“Ayo Pan, shalat berjamaah di masjid, katanya mau hijrah?”

“Saya shalat disini saja deh Pak.” jawabku singkat.

“Loh kenapa?” tanya Pak Dinus. Aku kebingungan mencari alasan yang tepat.

“Di luar panas Pak, takut hitam. Hehehe” jawabku sekenanya.

Sungguh, aku juga tidak mengerti dengan diriku. Bahkan panggilan adzan pun tidak mampu membujukku. Jujur saja aku merasa seperti anak kecil yang sedang merajuk. Sore harinya, seperti biasa di hari Sabtu aku pulang lebih awal. Sebelumnya aku meminta izin dulu pada Pak Dinus.

“Pak, Pandan pulang dulu yah.” pamitku pada Pak Dinus.

“Iya Pan. Hati-hati yah.” dijawab tanpa menolehkan pandangannya padaku.

“Siap Pak.” jawabku singkat.

“Pan, jangan sia-siakan hijrah. Karena hidayah adalah hadiah terindah dari Allah” tiba-tiba Pak Dinus mengutarakan rangkaian kata yang tak pernah kuduga sebelumnya. Aku hanya terdiam sebentar. Kemudian mengucapkan salam. Dan langsung pergi dengan pikiran yang terus menerawang pada kata-kata tadi. Aku pikir di situ ada makna yang dalam. Makna yang memberi pengobatan untuk kekecewaanku.

Pulangnya, aku tidak langsung ke rumah. Aku naik angkot jurusan Stasiun Hall-Sadang Serang yang berwana hijau lalu turun di Jalan Braga. Aku hanya mengikuti kemana kakiku akan melangkah, kemana hatiku ini mencari penglepasan beban dan kekecewaan.

Aku duduk disalah satu bangku yang menghadap kejalan raya, tepat didepannya banyak poster-poster dan lukisan-lukisan. Kata-kata Pak Dinus kembali terputar di ingatanku “Pan Jangan sia-siakan hijrah. Karena hidayah adalah hadiah terindah dari Allah” Tatapanku menghadap ke lukisan, tapi pikiranku entah kemana. Aku berusaha menguraikan kalimat itu yang entah mengapa sejak tadi menyentil hati dan pikiranku.

Apakah aku menyia-nyiakan hijrah? Bukankah sepertinya Allah yang tidak menganggap hijrahku? Dan mengapa hidayah menjadi hadiah yang terindah? Aku berpikir keras dengan otakku. Tapi hasilnya tetap buntu. Tidak kutemukan obat atas kekecewaanku.

Entah beberapa detik atau menit atau bahkan jam yang kuhabiskan duduk di bangku itu. Tanpa kusadari adzan Ashar mulai berkumandang. Tanpa kusadari hatiku mulai membujuk kaki ini untuk berjalan ke Masjid Raya Bandung yang tidak jauh dari Jalan Braga. Di sana aku menunaikan shalat Ashar lalu mulai mengingat kalimat itu lagi. Dan hasilnya tetap sama. Aku belum menemukan pengobatan atas kekecewaanku.

Lalu aku bersujud, lama. Entah berapa lama. Masih dalam keadaan bersujud aku mulai mengingatnya lagi, bedanya kali ini aku tidak lagi memikirkanya dengan otakku. Aku mulai merasakannya dengan hatiku yang tanpa kusadari sudah mulai membatu.

Baru kusadari bukan Allah yang tak menganggap hijrahku. Tapi aku sendiri yang menyalahgunakannya. Aku menggunakan hijrahku sebagai topeng demi terkabulnya keinginan-keinginanku. Aku merasa malu. Aku merasa sangat hina. Ya Allah hamba seperti apa aku ini. Aku yang tak menyadari bahkan Kau mengabulkan setiap keperluanku yang tak pernah aku ucapkan.

Tidak, seharusnya aku tidak mencari pengobatan atas hatiku karena hatiku tidak sakit. Hatiku kotor. Dan sampai detik ini aku baru menyadarinya. Pelupuk mataku mulai basah oleh air mata yang perlahan-lahan jatuh membasahi sajadah yang kugunakan. Setiap tetesanya jatuh, setiap itu pula penyesalanku semakin bertambah. Dan aku masih tetap bersujud pada-Nya, memohon ampunan-Nya. Entah berapa lama aku bersujud atau bahkan sepertinya aku tertidur.

Tanpa kusadari langit di luar mulai menunjukan meganya. Aku memutuskan untuk bergegas pulang. Semburat jingga yang indah mengiringi perjalananku mulai dari naik angkot hingga turun di depan rumah.

Di sepertiga malam terakhir, di waktu favoritku untuk mecurahkan semua isi hati, aku bangun lalu berwudhu dan menunaikan shalat Tahajud. Aku berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Terimakasih atas segala nikmat yang kau berikan. Ampunilah dosa-dosaku yang telah menuntut-Mu. Yang telah menggunakan hijrahku sebagai topeng atas keinginan-keinginanku yang seharusnya aku tahu Dia bahkan tahu isi dalam hatiku yang aku sendiri tak tahu.”

Berulang kali aku mengucapkan istighfar sambil menahan agar tangisku tidak pecah. Aku berjanji mulai saat ini aku akan memperbaharui hijrahku, dengan awal yang baru dan dengan niatku yang baru. Dan aku pun akhirnya tahu, mengapa hidayah adalah hadiah terindah. Terimakasih Ya Allah Kau telah memberiku hadiah yang terindah untuk kedua kalinya.

Aku tak peduli seberapa sering aku jatuh bangun dalam hidupku, asalkan bersama-Mu hijrahku akan terus berjalan. Bukan lagi untuk terkabulnya keinginan-keinginanku melainkan hanya untuk-Mu. Hijrahku ini hanya untuk-Mu, untuk mengharap keridhoan-Mu.