Penulis : Rizki Bhirawani Merdikowati
Hari memang masih pagi. Mentari tersenyum, ranum. Tetapi ada yang lain dari lelaki berperawakan kurus itu. Dianggapnya hari sudah kembali malam, pekat. Pekat tampak membekas di pelupuk matanya. Tak usai ia menggumam pada rumbai tirai jendela. Matanya juga, lama berdialog pada kaca dan segala yang terangkum di luaran sana. Bukan tanpa maksud.
Hendak dibagikannya kepada mereka rasa gelisah dan kebimbangannya. Sangat sederhana namun ia merasa sedikit lega sesudahnya. Inilahyang dinamakannya sebagai pelipur lara. Bagi dirinya. Namun orang disekitarnya menganggapnya sebagai, jelas, sebuah tanya.
Masih nampak jelas peristiwa kemarin malam di meja makan, ketika dengan tegasnya Arya mengatakan penolakannya kepada Ayah dan Ibunya. Tentu diperlukan latihan berhari-hari sebelumnya, dan persiapan yang sangat matang. Tidak baik juga ditahan. Nanti lama kelamaan meronta keluar juga.
“Maaf Pa, Ma. Aku hanya ingin teguh pada pilihanku. Aku hanya ingin, dan tentu akan menjadi arsitek, bukan seorang abdi negara.”
Tak terduga juga, semua tampak biasa dan berjalan mulus, lurus tanpa basa basi. Tegas, dan tepat ke dalam inti. Tidak sia-sia latihannya selama ini. Itu pun dia merasa sangat tidak enak, meskipun sedikit, perasaan bersalah dari dalam hati kecilnya tetaplah ada.
Walaupun dia sendiri tidak menyadarinya. Sejak saat itu, tepatnya sesudah mengunyah sesuap nasi yang pertama, suasana meja makan sedikit berubah. Ada perasaan mencekam, bagi Arya. Telah direlakannya aroma ayam bakar, sayur asam, dan sambal terong yang menguap begitu saja.
Kali ini demi kelancaran prosesi, Arya rela tak berebut makanan dengan adiknya, seperti biasa. Papa mulai mengatur gerak muka dan posisi duduknya. Ibu nampak tenang, dan adik yang tidak tahu apa-apa, dengan lahapnya makan seluruh jatah Arya, tanpa penolakan.
“Sampai sekarang ini Papa dan Mama telah berusaha untuk mengantarkan kamu untuk memilih jalan kesuksesanmu,” dari ekspresi Papa, beliau memang nampak biasa saja mendengar pernyataan Arya.
Mimik mukanya mengisyaratkan seolah hal ini memang yang selama ini ditunggunya. Papa tau betul, walaupun terlihat menurut dan setuju, tetapi Arya memang tak suka dengan keputusan Papa agar Arya harus meneruskan kuliah di perguruan tinggi kedinasan. Yang kelak akan menjadi seorang abdi negara. Belum selesai Papa bicara, Arya menyela,
“Tapi bukan berarti Papa juga berhak menentukan pilihanku Pa. Aku sudah dewasa. Aku ingin memilih jalanku sendiri. Aku adalah calon seorang arsitek, akulah yang akan membangun gedung-gedung tinggi di Ibukota. Aku adalah anak Papa dan Mama yang akan merancang jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Kalimantan. Aku akan menjadi seorang arsitek yang akan membuat rumah yang besar untuk Papa dan Mama. Bukankah itu juga sebuah kesuksesan Pa?” dihelanya nafas, melalui mulut juga hidungnya.
Tepuk tangan bergemuruh dalam dadanya. Namun dirinya takut juga bila menyakiti perasaan orang
tuanya.
“Papa dan Mama tau persis siapa Arya. Papa dan Mama hanya menginginkan kebahagiaanmu di masa depan nanti.”
Arya diam, seperti sedang merencanakan sebuah pembelaan diri,
“Tentu Pa, Arya bisa bahagia ketika Arya sudah menjadi arsitek nanti. Percaya pada Arya Pa, Ma”
“Papa mohon satu kali ini saja. Turuti kata Papa, Papa yakin kamu bisa. Benar kan? Papa bangga kamu punya mimpimu sendiri. Tapi Papa mohon cobalah dulu untuk menuruti kata Papa dan Mama.” Gaya berbicara Papa memang selalu sama setiap saat.
Maka akan sulit ditebak suasana hati Papa jika hanya dilihat melalui mimik mukanya. Seperti sebuah cahaya, sesuatu melesat menyilaukan mata sampai mata hatinya. Arya terpejam, lalu tersadar. Buru-buru dikumpulkannya tenaga dari dalam tubuhnya. Dia mengangguk. Cukup sekali.
“Baik Papa Mama, aku bersedia, dengan setulus hati Arya untuk menuruti kemauan Papa, untuk ikut seleksi masuk STAN. Dengan syarat aku harus memilih sendiri jurusan apa yang kuinginkan. Jika memang STAN adalah ridho dari Mama dan Papa. Aku yakin aku tahun ini bisa masuk di prodip IV Akuntansi. Dan setelah dinyatakan lulus ujian
masuk, Arya akan menjadi seorang hafidz dengan hafalan 30 juz.”
Luar biasa, bagaimana bisa Arya mengeluarkan kata-kata yang diluar dari kehendaknya. Semua itu merupakan sebuah angan-angan, dan hebatnya dia terlihat begitu yakin ketika mengatakannya. Padahal jika dicerna lagi, ada hal yang tidak masuk akal.
Walaupun belum ada pengumuman resmi dari pihak STAN tentang ujian saringan masuk, tetapi sejak dulu Arya tahu bahwa hanya lulusan DIII yang berhak untuk mengikuti program DIV. Itu artinya mustahil bagi Arya untuk langsung masuk di DIV Akuntansi. Entah apa memang dia sengaja berkata seperti itu. Mengenai keinginan menjadi hafidz, dia terbilang berani juga.
Sampai sekarang membaca Al-Quran hanya sampai pertengahan juz 1, itu pun dia lakukan karena hanya untuk mengikuti ujian praktek SMP. Semua tersenyum. Papa, Mama, dan juga Arya. Tetapi jelas bimbang masih meraja di batin Arya. Perihal makan malam kali ini tentu tak akan terhenti begitu saja. Kesimpulan dari keberanian Arya malam itu : Dari skala 1 sampai dengan 10 target Arya untuk memenangkan persoalan makan malam ini bulat, 10.
Namun setelah dirasa mencapai target, ada sebuah energi yang menariknya kembali pada angka 1 lalu
melambungkannya lagi pada skala 11. Itu artinya dia melampaui target, berhasil. Berhasil membahagiakan Mama Papa, setidaknya dengan niat yang diungkapkannya tadi. Walaupun dia belum mewujudkannya.
Diluar itu, untuknya pribadi, sangat pribadi, bukannya lega yang dirasakan, tapi kebingungan tak terduga hendak menyelinap dipikiran. Ia terjaga sampai pagi. Melamun menerawang masa depan dan masa silam. Diamatinya kembali sisa-sisa hujan semalam. Tanah membawa aroma basah.
Akhirnya dia tersadar jika hari memang sudah menjelang siang. Sejauh mata memandang, tak lagi ditemukannya bulan dan bintang. Namun bukankah itu kunang-kunang? Mengapa masih ada kunang-kunang di hari yang cerah ini? Arya keheranan, didekatinya lagi jendela, dan disingkapnya tirai.
Ia ingin memastikan bahwa ia tak lagi dalam khayalan. “Ahh, itu bukan kunang-kunang. Tidak seharusnya kunang-kunang terbang siang. Untuk apa dia beradu dengan cahaya matahari. Haruskah aku yang mengantarkannya pergi kembali kepada malam? Dan menyadarkannya bahwa dia adalah milik sang malam.” Arya menggumam, lagi. Begitu puitis. Arya beranjak dari jendela. Dipalingkan mukanya menghadap kaca.
“Yaa, aku adalah Arya,” akhirnya senyum itu, terlihat kembali. Mulai ditata rambutnya, dan kembali berdialog pada kaca, “Aku adalah Arya, dan aku bisa mewujudkan mimpiku, bersama mimpi yang lainnya.”
Arya berjalan menuju ruang makan. Dan diyakini episode meja makan akan berlanjut lagi siang ini. Arya mengambil posisi duduk di sebelah kiri Papa. Mama sedang sibuk menata makanan di atas meja. Adik seperti biasa hanya tertawa lebar melihat masakan Mama yang tercium aromanya hingga ke gerbang depan. Seketika Arya iri dengan tawa bahagia adiknya,
“Ahh, awas saja nanti kamu juga akan merasakan apa yang Mas Arya rasakan dek.”
“Arya, coba lihat ini Papa baru saja dikirimi teman Papa, Pengumuman tentang Ujian Saringan Masuk PKN STAN. Coba baca.”
Arya meraih tablet Papa, jelas, yang pertama dituju adalah pilihan prodi apa saja yang tertera di sana. Ingin segera Arya menyampaikan kabar kepada orang tuanya bahwa tidak ada program DIV bagi calon mahasiswa baru. Dan itu artinya dia bebas untuk tidak mengikuti seleksi. Gembira juga Arya memikirkannya.
Belum sampai kegembiraan itu sampai pada puncaknya, Arya bagaikan terhempas ke sudut ruang makan, terpojok, mengecil dan bertaburan mengelilingi seluruh ruangan, lalu mengendap di bawah meja makan. Bukan sebuah kebetulan, bagaimana bisa tertera di pengumuman bahwa, DIV akuntansi menjadi salah satu pilihan? Arya pucat. Mengingat semakin dekatnya mimpi singkat episode pertama meja makan.
“Bagaimana Arya? Jangan lupa persiapkan sebaik baiknya. Papa Mama yakin kamu bisa.” Papa dan Mama benar-benar bahagia. Bahagia melihat Arya mau, setidaknya, membaca dan mempelajari pengumuman yang benar-benar membuat Arya ingin pingsan rasanya.
Baiklah, itu merupakan cuplikan kecil dari kisah perjalanan mimpi Arya. Mimpi yang
tidak sengaja diucapkannya ketika dia mau menghindari kemauan Papa dan Mamanya.
Mimpi yang bermula begitu sederhana. Tanpa butuh proses yang lama untuk
menyusunnya.
Arya sadar, ini bukan masalah waktu. Ketika Allah sudah menghendaki, maka terjadilah semuanya. Berawal dari ridho orang tua, maka Allah akan meridhoinya. Bagi Arya proses hijrahnya berlangsung begitu saja tanpa ia memikirkannya, Allah yang menuntunnya.
Menjadi seorang mahasiswa program diploma IV akuntansi di PKN STAN bukan tujuan akhir melainkan sebuah sarana dari Allah untuk mengantarkan hijrah Arya. Membahagiakan orang tua dan melihat mereka tersenyum bangga juga menjadi hafidz yang InsyaaAllah akan memuliakan Papa dan Mama ketika di surga-Nya kelak itu adalah keinginannya. Aamiin yaa Robbal’alamin.
***
Tiada lagi kunang-kunang yang terbang siang.
Karena kepada malam ia kembali pulang.
Tidak lagi ia bersedih, memikirkan, apa gunanya ia untuk siang?
Jika ternyata siang bukan tujuan, melainkan hanya tempatnya untuk menanti sang malam.
Karena malam memang sudah ditakdirkan memiliki kunang-kunang.
Bersama malam, kunang-kunang memperihatkan keindahannya.
Bersama bulan dan bintang, kunang-kunang menghias langit malam.